1. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (1953 –
1955 )
Krisis pemerintahan yang terjadi di Indonesia menyebabkan
ketidakstabilan pemerintahan. Indonesia mengalami jatuh bangun dalam kabinet.
Pada tanggal 3 Juni 1953, Perdana Menteri Wilopo mengembalikan mandatnya kepada
Presiden sebagai akibat dari Peristiwa Tanjung Morawa. Dengan demikian kabinet
dinyatakan demisioner. Kabinet Ali Sastroamijdojo merupakan kabinet pengganti
dari Kabinet Wilopo. Kabinet Ali mengisi krisis pemerintahan di Indonesia pasca
kekosongan selama 58 hari (sepeninggalan Kabinet Wilopo).
Untuk mengisi jabatan Perdana Menteri ditunjuk Ali Sastroamidjojo yang
saat itu menjabat Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Ali
Sastroamidjojo sempat ragu, karena selama ini belum pernah diajak bicara oleh
partainya mengenai pembentukkan kabinet. Tetapi setelah didesak oleh Ketua Umum
PNI Sidik Joyosukarto, akhirnya Ali Sastroamidjojo mau menduduki jabatan
perdana menteri. Akhirnya pada tanggal 30 Juli 1953, Presiden mengumumkan
pembentukan Kabinet Ali Sastroamidjojo yang kemudian disahkan dengan Keputusan
Presiden RI No. 132 Tahun 1953 tertanggal 30 Juli 1953. Pelantikan Ali
Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri dilangsungkan di Istana Negara pada
tanggal 12 Agustus 1953.
Program kerja dari Kabinet Ali diantaranya
:
a.
Program dalam negeri
diantaranya keamanan, pemilihan umum, kemakmuran dan keuangan, organisasi
pemerintahan, perburuhan, serta perundang-undangan.
b.
Pengembalian Irian
Barat.
Kemerdekaan Indonesia, menuntut kabinet ini untuk tidak menyetujui adanya
RIS. Hal ini karena pemerintahan yang ada saat itu ingin berdaulat dalam
menjalankan kehidupan bernegara. Oleh karena itu, pada tanggal Agustus 1954
Kabinet Ali memuat usul mengenai penghapusan Uni Belanda- Indonesia dan
beberapa penyesuaian atas hasil KMB, namun hal ini tidak mencapai kemajuan.
Adanya masalah pembebasan Irian yang tidak memuat hasil membuat Kabinet Ali
saat itu mengajukan masalah ini ke PBB, dan dalam bulan yang sama pengaduan
tersebut tidak diterima.
c.
Pelaksanaan politik
luar negeri bebas dan aktif.
d.
Menyelesaikan Pertikaian politik
Prestasi Yang Dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I :
Kabinet Ali Sastroamidjojo
ini tidak mampu mencapai semua program kerjanya. Walaupun digolongkan sebagai
kabinet yang bertahan lama, tapi tidak semua hasil diperoleh secara maksimal.
Akan tetapi, kabinet ini telah berhasil memberi sumbangan bagi Indonesia,
maupun benua Asia-Afrika. Adanya peristiwa diplomari pada 18 April-24 April
1955 itu disaksikan oleh Gedung Merdeka, Bandung. Disana Ali mengusulkan KAA,
hal ini didukung Negara lain. Adapun KAA telah menunjukan kemenangan bagi
pemerintahan Ali, ketika itu terdapat 29 negara yang hadir (Negara-negara besar
Afrika, Asia hanya kedua Korea, Israel, Afrika Selatan, dan Mongolia luar yang
tidak diundang).
2. Kabinet Burhanuddin Harahap ( 1955 – 1956 )
Pada
waktu Kabinet Ali I mau menyerahkan mandatnya kepada presiden, Presiden
Soekarno sedang menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Oleh karena itu, pada
tanggal 29 Juli 1955, Wakil Presiden Moh. Hatta mengumumkan tiga nama formatur
yang bertugas membentuk kabinet baru. Tiga nama formatur tersebut adalah
Sukiman (Masymu), Wilopo (PNI), dan Asaat (nonpartai).
Ketiga
tokoh tersebut sepakat menunjuk Moh. Hatta sebagai perdanan menteri sekaligus
menteri pertahanan. Namun, muncul kesulitan karena Moh. Hatta duduk sebagai
wakil presiden. Akhirnya tiga formatur tersebut gagal membentuk susunan kabinet
baru. Kemudian, Moh. Hatta menunjuk Mr. Burhanddin Harahap (Masyumi) untuk
membentuk kabinet. Pada tanggal 12 Agustus terbentuk Kabinet Burhanuddin
Harahap, dengan perdana menterinya Burhanuddin Harahap dari Masyumi.
Kabinet Burhanuddin Harahap merupakan kabinet koalisi yang terdiri dari beberapa partai dan hampir merupakan kabinet Nasional, karena jumlah partai yang tergabung dalam koalisi kabinet ini semua berjumlah 13 partai. Kabinet ini didominasi oleh partai Masyumi walaupun terdapat banyak partai dalam kabinet ini, tetapi seakan-akan hanya menjadi pelengkap saja. Selain itu, ada pihak yang menyebut kabinet ini sebagai kabinet Masyumi karena Masyum yang mendominasi kabinet ini. PNI tidak duduk kabinet ini, tetapi PNI bersama-sama PIR Wongsonegoro, SKI, PKIdan Progresif bertindak sebagai oposisi. Seakan-akan kabinet ini sebagai ganti kabinet Ali-Wongso-Arifin, karena pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I sebagai partai yang besar Masyumi untuk pertama kali tidak duduk dalam kabinet tersebut dan bertindak sebagai oposisi. Kabinet ini bertugas pada tanggal 12 Agustus 1955 sampai 3 Maret1956. Pada tanggal 3 Maret 1956, Perdana Menteri Burhanuddin Harahap selaku formatur kabinet menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno sehingga kabinet ini resmi dinyatakan demisioner.
Berikut program kerja Kabinet Burhanddin Harahap :
1. Mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal
ini kepercayaan Angkatan Darat dan Masyumi.
2. Akan dilaksanakan pemilihan umum, desentralisasi,
memecahkan masalah inflasi, dan pemberantasan korupsi.
3. Perjuangan mengembalikan Irian Barat ke Republik
Indonesia.
Hasil yang menonjol dari kabinet ini adalah penyelenggaraan pemilu untuk
yang pertama di Indonesia, yang berlangsung pada tanggal 29 September 1955 untuk
memilih anggota DPR dan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota
konstituante. Prestasi lainnya yaitu pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Dengan berakhirnya pemilihan umum, maka tugas Kabinet Burhanuddin dianggap
telah selesai sehingga perlu dibentuk kabinet baru yang bertanggung jawab
terhadap parlemen yang baru. Pada tanggal 3 Maret 1956 Kabinet Burhanuddin
Harahap mengembalikan mandatnya kepada presiden. Kabinet ini merupakan kabinet
peralihan dari DPR Sementara ke DPR hasil pemilihan umum.
3. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (1956 – 1957)
Kabinet Ali Sastroamidjojo II, sering pula disebut Kabinet Ali-Roem-Idham, bertugas pada
periode 24 Maret 1956 - 14 Maret 1957. Kabinet Ali kembali diserahi mandat
pada tanggal 20 Maret 1956 yang merupakan koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU. Kabinet ini dibentuk dengan Keputusan
Presiden RI Nomor 24 Tahun 1956. Pada tanggal 14 Maret 1957 Kabinet Ali Sastroamidjojo II
menyerahkan mandatnya kepada presiden. Akhirnya kabinet ini jatuh dan presiden
menunjuk dirinya menjadi pembentuk kabinet yang bernama kabinet Karya dan Djuanda sebagai perdana menteri.
Pada kabinet Ali Sastroamijoyo II ini, Ali Sastroamijoyo adalah pemimpin
/ ketua kabinet yang berperan sebagai perdana menteri. Kabinet Ali
Sastroamijoyo II ini juga merupakan sebuah kabinet yang pertama setelah
dilaksanakan kegiatan pemilihan umum (Pemilu) pada tahun 1955.
Program Kabinet Ali Sastroamijoyo II :
1. Program pertama, yakni pembatalan Konferensi Meja Budar (KMB).
2. Program kedua, yakni kembali bejuang
agar dapat mengembalikan Irian Barat masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3. Program ketiga, yakni memulihkan
kembali keamanan, ketertiban, keuangan, pembangunan ekonomi, pendidikan,
perhubungan, industri, dan sektor pertanian.
4. Program keempat, yakni melaksanakan
dan menjalankan keputusan dari Konferensi Asia Afrika (KAA).
Runtuhnya Kabinet Ali Sastroamijoyo II
Dan kemudian tepat pada tanggal 14 Maret tahun 1957,
Ali Sastroamijoyo kembali menyerahkan mandatnya kepada presiden yang
dikarenakan pada tubuh kabinet Ali Sastroamijoyo II terdapat dan terjadinya
perpecahan antara kubu Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan kubu Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Kubu dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)
menginginkan agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya dan ditujukan kepada
presiden sesuai dengan tuntutan dari daerah, akan tetapi Ali Sastroamijoyo
mempunyai pendapat lain yakni berpendapat bahwa kabinet tidak diwajibkan
mengembalikan mandatnya hanya dikarenakan tuntutan dari daerah.
Dan tepat pada bulan januari tahun 1957, Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi) kemudian menarik seluruh menteri-menterinya dari
kabinet Ali Sastroamijoyo II dan karena hal-hal tersebutlah yang membuat
kabinet Ali Sastroamijoyo II menjadi sangat lemah. Sehingga hal tersebut yang
menjadi faktor pemicu kabinet Ali Sastroamijoyo II runtuh
4. Kabinet Djuanda ( 1957
– 1959 )
Pada awal tahun
1957, tepatnya pada bulan Januari 1957, ketegangan politik bangsa kian memuncak
ketika terjadi pengunduran diri beberapa menteri dari kabinet Ali II.Peristiwa
ini berlangsung antara tanggal 9 hingga 15 Januari 1957. Kabinet Djuanda resmi terbentuk pada
tanggal 9 April 1957 dalam keadaan yang tidak mennggembirakan.Kabinet ini
merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli
dalam bidangnya.dengan komposisi Perdana Menteri Ir. Djuanda dengn 3 orang
wakil yaitu Mr. Hardi, Idham Chalid, dan Dr. Leimena. Kabinet ini memiliki
tugas berat terutama dalam menghadapi pergolakan di daerah-daerah, perjuangan
mengembalikan Irian Barat, dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk.
Program
Kerja yang dirumuskan oleh pemerintahan Kabinet Djuanda antara lain :
1. Membentuk Dewan Nasional (sesuai dengan konsepsi
Presiden) dan sejak Juni 1957 membentuk Depernas (Departemen Penerangan
Nasional);
2. Normalisasi keadaan RI;
3. Melanjutkan pelaksanaan pembatalan KMB;
4. Perjuangan Irian Barat;
5. Mempercepat pembangunan.
Beberapa
peristiwa penting pada masa kerja Kabinet Karya antara lain :
·
Perjuangan Irian
Barat yang dipimpin oleh pemerintAh dan digiatkan dalam aksi pembebasan Irian
Barat.
·
Pendirian
“Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia” pada tanggal 10
Februari 1958 dengan Husein sebagai ketuanya. Tujuan gerakan ini adalah “menuju
Indonesia yang adil dan makmur”. Gerakan tersebut mengirimkan ultimatum kepada
Kabinet Karya yang berisi :
1. Pembubaran Kabinet Karya dan pembentukan Kabinet Kerja
bercorak nasional di bawah pimpinan Hatta-Hamengku Buwana.
2. Presiden supaya kembali ke kedudukannya yang
konstitusional.
3. Tuntutan supaya dipenuhi dalam waktu 5x24 jam, bila
ditolak akan mengambil gerakan sendiri.
4. Kabinet Karya dengan tegas menolak ultimatum tersebut
dan menjawabnya dengan memecat perwira-perwira AD yang terlibat langsung
seperti Husein, Simbolon, Jambek, dan Lubis.
·
Pendirian “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI)
tepat setelah berakhirnya masa berlaku ultimatum “Gerakan Perjuangan
Menyelamatkan Negara Republik Indonesia”.
·
Penentuan batas wilayah perairan atau laut teritorial
Indonesia dari 3 mil menjadi 12 mil, dihitung dari garis pantai pada waktu air laut
surut dan zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil dari pantai yang dikenal dengan
“ Deklarasi Djuanda”
Berakhirnya masa
kerja Kabinet Karya berawal dari diterimanya gagasan “kembali ke UUD 1945” pada
tanggal 19 Februari 1959 yang dicetuskan oleh Nasution dalam konferensi Komando
Daerah Militer pada bulan yang sama. Menurut putusan sidang Kabinet Karya pada
tanggal 19 Februari 1959, Presiden akan menyampaikan amanat kepada Konstituante
berisi permintaan agar UUD 1945 diundangkan kembali. Merujuk pada UUDS 1950,
untuk mengambil keputusan dalam suatu kasus, minimal dua pertiga anggota
Konstituante harus menghadiri sidang, dan dua pertiga dari mereka itu
memberikan suara setuju.Akan tetapi sampai tiga kali Konstituante mengadakan
pemungutan suara, ternyata mayoritas yang diperlukan tidak pernah tercapai,
sehingga banyak anggota yang tidak mau lagi menghadiri sidang-sidang
Konstituante.Pihak yang pro bersama pihak militer kemudian mendesak Presiden
Soekarno untuk mengundangkan kembali UUD 1945 dengan dekrit. Dekrit Presiden yang disampaikan tanggal 5
Juli 1959 berisi :
1. Pembubaran Konstituante.
2. Berlakunya kembali UUD 1945.
Pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan
dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya. (Moedjanto, 1992:114).Dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka sistem demokrasi liberal
Indonesia berganti dengan demokrasi terpimpin.Kabinet Karya pun dibubarkan dan
digantikan oleh Kabinet Kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar